|

PLURALISME

Judul : PLURALISME Menyelamatkan Agama-agama
Penulis : Moh. Shofan
Penerbit : Samudra Biru
Tahun Terbit : 2011

Pendahuluan.
Segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya ke semesta alam, Shalawat beriringan Salam senantiasa tercurah kepada Sang Baginda Muhammad Saw. Amma Ba’du,
Maraknya berbagai kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia cukup membuat banyak pihak prihatin, betapa kemajemukan masyarakat di Indonesia belum bisa diapresiasi dengan baik oleh segelintir pihak. Ke-Bhineka Tunggal Ika-an yang menjadi jargon negara seolah lenyap dengan banyak nya aksi aksi kekerasan yang ironis nya mengatasnamakan Agama. Sebutlah kasus Ambon, Poso dan terakhir kasus Ahmadiyah, kasus terakhir ini yang kemudian menjadi perdebatan sengit antara kelompok cendekiawan muslim “lurus” dengan mereka yang menamakan diri nya Jaringan Islam Liberal atau JIL yang di nahkodai oleh tokoh muda Nu, Ulil Abshar Abdalla.
Buku “ PLURALISME Menyelamatkan Agama-agama” yang di tulis oleh Moh. Shofan sedikit banyak menyingkap tabir akan pemahaman kaum liberal tentang pluralisme, sekularisme, liberalisme yang selama ini mereka anut.

Motif Penulisan Buku.
Tak ada kebakaran jikalau tak ada api, sebuah kalimat sederhana yang mungkin bisa mewakili akan keberadaan buku ini. Sebuah tulisan opini Moh. Shofan yang di terbitkan oleh Harian Surya, tepat nya tanggal 23 Desember 2006 yang berjudul “ Natal dan Pluralisme Agama” ternyata berujung pada pemecatan diri nya sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik. Apa pasal ? Tulisannya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam AD/ART, Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah dan keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor : 149/KEP/1.0/B/2006, tentang Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai konsolidasi organisasi dan amal usaha Muhammadiyah. Kejadian itulah yang akhirnya melandasi dirinya untuk mengeluarkan pembelaan-pembelaan pemikirannya tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme yang tertuang pada buku ini.

Metode Penulisan Buku.
Buku setebal 161 halaman ini terbagi dari beberapa kerangka yang terdiri dari : Prolog – Pengantar Penulis – Bagian pertama – Bagian kedua – Bagian ketiga – Bagian keempat – Bagian kelima – Bagian keenam – epilog – tentang penulis – indeks.
Sebuah tulisan yang lebih mengedepankan unsur kata ganti “ Saya “ ketimbang menggunakan kata ganti lain seperti “ Dia, mereka dsb “ membuatnya lebih terasa sebagai sebuah curahan hati dan pemikiran sang penulis kepada pembaca.

Sistematika.
Buku ini terbagi ke dalam beberapa bab pembahasan, yaitu :
Bab I, membahas tentang Paradigma Pemikiran Islam yang mencakup 3 sub bab, yaitu Mentradisikan Kebebasan Berfikir- Tiga Model Paradigma Pemikiran Islam- Merintis Jalan Ketiga Pemikiran Islam.
Bab II, membahas tentang Islam, Negara dan Kebebasan Beragama yang mencakup 5 sub bab, yaitu Dari Iman Filosofis ke Iman Liberatif- Islam Agama Hanif- Islam, Negara, dan Kebebasan Beragama- Mitos Wahyu, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban - Atheisme dan Kebebasan Beragama.
Bab III, membahas tentang Menyoal Radikalisme Agama yang mencakup akan 3 sub bab, yaitu Radikalisme ‘Benalu’ Peradaban – Penindasan Atas Nama Agama – Pendidikan Berbasis Pluralisme.
Bab IV, membahas tentang Meneguhkan Pluralisme Untuk Kemaslahatan Umat yang mencakup 6 sub bab, yaitu Menakar Objektivikasi Pluralisme – Pluralisme yang Memihak – Natal dan Pluralisme Agama – Menimbang Masa Depan Pluralisme – Menuju Pluralisme Global – Menuju Keberagamaan Inklusiv-Pluralis .
Bab V, membahas tentang Membumikan Pluralisme, Agenda Untuk Aksi yang mencakup 3 sub bab, yaitu Membumikan Pluralisme Dari Wawasan Etis-Normatif Menuju Pluralisme Global – Mencari Format Baru Pluralisme ; dari Moral Defensif ke Moral Ofensif – Menuju Negara Berbasis Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme.
Bab VI, membahas tentang Belajar Dari Guru Pluralis yang mencakup 4 sub bab, yaitu Nurcholish Madjid ; Beyond Pemikiran Islam Nurcholish Madjid – Nasr Hamid Abd Zayd ; Membongkar Otoritarianisme Tafsir – Ibnu Rusyd ; Belajar Menalar Secara Kritis – Farag Fouda ; Mitos Khilafah Islamiyah.

Substansi Isi Buku.
• Mentradisikan Kebebasan Berfikir.
Dalam Islam, tidak ada satu pun nash dalam Al Qur’an maupun hadist yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan dan segala bentuk perilaku negatif, represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Ironis nya, hingga kini masih saja muncul kekerasan yang mengatasanamakan agama.
Menghadapi persoalan ini, diperlukan suatu rumusan yang tepat untuk membangun sistem kehidupan yang damai. Rumusan itu ada dalam PLURALISME. Pluralisme adalah jalan terbaik untuk hubungan antar dan intra- agama.
Nabi Muhammad Saw pernah memberikan petuah bijak untuk para pengikutnya, “al-ikhtilaaf rahmah “, perbedaan adalah rahmat. Mengapa ? Sebab dengannya manusia bisa saling mengisi dan berbagi, dan kita sebagai umatnya dapat terjauh dari laknat ‘perpecahan’. Tetapi ternyata sabda suci itu menjadi omong kosong di hadapan pengikutnya. Setiap golongan dari umatnya selalu menganggap jika merekalah yang paling benar di hadapan Tuhan dan Nabi. Dan selain mereka, adalah setan, kafir, murtad yang harus disadarkan dari ketersesatannya.
Fenomena pengkafiran memang seolah-olah menjadi trend dewasa ini. Apalagi ketika
pengkafiran itu telah ditunggangi kepentingan tertentu, dan kehilangan nilai ilmiah, sehingga “pengkafiran” pun menjadi keniscayaan yang tak bisa dielakkan lagi, padahal sebenarnya banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyelaraskan kedua belah pihak yang bertikai. Suatu ketika Cak Nur ( panggilan akrab Nurcholish Madjid) pernah berkata : “ Jika Tuhan saja membebaskan seseorang untuk menjadi atheis, maka tidak ada hak bagi manusia untuk melarang atheisme “.
Tidakkah sepatutnya bagi masing-masing untuk memperoleh hak hidup, hak berijtihad dan hak berbeda pendapat ? Apakah kita memiliki otoritas untuk menghakimi keimanan seseorang ? Bukankah Allah Ta’ala sudah berfirman dalam Surah Al Baqoroh ayat 147-148 yang berbunyi “ Al haqqu min Rabbika fala takunanna minal mumtarin “ ( Kebenaran itu hanyalah dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu ).
Untuk mengatasi trend pengkafiran itu, kita umat Islam harus kembali bersama-sama melakukan pemahaman ajaran-ajaran Islam secara lebih utuh. Kita harus berani mengatakan bahwa agama diturunkan untuk memanusiakan manusia, sehingga kita akan mampu membedakan antara otoritas langit dan otoritas bumi. Sejarah membuktikan bahwa peradaban hanya lahir ketika akal dan kebebasan berfikir mendapatkan tempat dalam tradisi kehidupan. Disinilah mengapa Islam menganjurkan umatnya untuk senantiasa memanfaatkan akal-budinya dalam mendalami segala sesuatu dan memberikan jaminan pemanfaatan secara maksimal. Oleh sebab itu, apakah masih relevan mempertentangkan akal dengan wahyu ? Masihkah relevan memusuhi tradisi berfikir atas nama keimanan ? Masih layakkah tradisi takfir atas tafkir?

• Tiga Model Paradigma Pemikiran Islam
Dalam suatu kesempatan penulis berbincang dengan Mas Budhy ( Budhy Munawar Rachman) – seorang cendekiawan muda Muslim yang sangat berjasa menyunting buku besar ‘ Ensiklopedi Nurcholish Madjid ‘. Dalam perbincangan itu, Mas Budhy mengatakan bahwa sudah saatnya kita (harus) menafsirkan Al Qur’an ( baca : Islam) dengan wajahnya yang plural, egaliter, terbuka dan inklusif tanpa harus menggali kembali kekayaan khazanah Islam klasik. Mengapa ? Karena hal itu hanya akan cenderung mengulang ulang sejarah.
Dalam kesempatan lain Abd. Moqsith Ghazali mengatakan bahwa persoalan-persoalan kruslial yang menyangkut urusan negara dan agama tidak cukup diselesaikan dengan cara memberi tafsir baru terhadap syariah, seliberal apapun penafsiran itu.
Oleh karena itu, diperlukan model alternatif penafsiran akan teks-teks al Qur’an. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dari mana kita mesti memulai kerja intelektual untuk menghadirkan Islam yang plural, kontekstual, dan inklusif di masa yang akan datang ? Langsung dari al Qur’an dengan tanpa menggali tradisi Islam klasik sebagaimana pendapat Budhy, atau seperti yang dikumandangkan Moqsith, yakni berpaling dari syari’ah yang dinilainya tidak memberikan tawaran solutif ?
Penulis memberikan 3 model paradigma pemikiran Islam, Pertama, dalam mengkaji persoalan-persoalan kontemporer, sejatinya kita harus membatasi diri mulai dari sekarang. Artinya, kita harus berani melampaui tradisi masa lalu. Tradisi kita tinggalkan untuk memperoleh pemahaman baru mengenai Islam. Pemahaman baru tersebut akan kita peroleh dengan cara menganggap dan memperlakukan al Qur’an, seolah olah ia baru saja diwahyukan kepada nurani setiap muslim. Dengan demikian, proses penafsiran melibatkan masa kini dan masa yang akan datang tanpa ada ikatan sama sekali dengan tradisi lama atau masa lalu. Kedua, kita perlu menggali secara optimal pesan-pesan moral dalam al Qur’an. Karena pesan dasar al Qur’an adalah moral. Tafsir merupakan kerja pencarian untuk menemukan pesan-pesan moral universal, dengan cara memperlihatkan kondisi obyektif masa kini sebagai fokus dimana teks itu lahir atau di turunkan. Pesan-pesan moral universal al Qur’an tersebut dapat dijadikan sebagai landasan objektif manusia tanpa terkecuali. Ketiga, kita harus menempatkan al Qur’an sebagai teks yang sekuler bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al Qur’an yang sebenarnya tidak sakral. Karena sejati nya al Qur’an adalah wahyu sekuler.

• Islam, Negara dan Kebebasan Beragama
Kebebasan untuk beragama yang sudah digariskan oleh Tuhan (al-Qur’an) pada kenyataannya masih mengalami persoalan yang serius. Bagaimana tidak, peristiwa yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu contoh bagaimana kebebasan beragama belum dapat dijalankan dengan baik. Di beberapa daerah, hak-hak sipil mereka sebagai warga negara sangat dibatasi, mulai dari hak kebebasan berkeyakinan, hak membangun rumah peribadatan hingga ke persoalan ibadah haji. Pemerintah pada kenyataannya hanya berpihak pada kepada kelompok mainstream (mayoritas) dibanding kelompok minoritas. Ahmadiyah, meskipun tetap mengklaim sebagai bagian dari Islam, tetapi karena berada di luar kelompok mainstream, maka mereka mendapat perlakuan yang diskriminatif dari aparat agama. Demikian pula nasib kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Cita-cita terdepan agama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan dengan demikian menjadi angan-angan belaka karena hati manusia telah dihalangi kebebasannya dalam memilih dan menjalani keyakinan agamanya. Padahal, secara normatif pemerintah sudah membuat aturan berupa Undang-Undang yang mengatur tentang kebebasan warga negara untuk beragama dan meyakini keyakinannya.
Peristiwa desakan pembubaran Ahmadiyah, disamping menunjukkan akan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola warganya, juga merepresentasikan gambaran Islam sebagai momok yang mengancam kerukunan antar-komunitas masyarakat. Islam seolah bukan lagi menjadi agama, akan tetapi telah menjelma sebagai tirani ideologis baru yang yang datang tiba-tiba dan dengan mudahnya menghancurkan “tradisi” kerukunan antar umat yang sudah melembaga.
• Penindasan atas nama Agama
Fenomena kekerasan atas nama agama dalam dunia Islam terjadi akibat adanya suatu keyakinan seseorang yang dengan kapasitas keislamannya merasa sebagai pemegang sah otoritas hukum Tuhan. Sungguh sangat tidak masuk akal ketika ada suatu kelompok memperjuangkan keyakinannya atas nama Tuhan sambil dengan seenak nya melakukan teror dengan cara-cara yang tidak beradab.
Kelompok ini memiliki justifikasi teologis melalui ‘kitab suci ‘. Islam melalui kitab suci dianggap mengandung doktrin yang kaffah, mencakup wawasan-wawasan, nilai-nilai yang bersifat komplit yang meliputi seluruh aspek, baik itu sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Al Qur’an cukup dibaca, dan apa yang tertulis di dalamnya cukup diterima dengan penuh kepercayaan sebagai kebenaran absolut. Ini tentu menghasilkan suatu logika beragama yang tidak normal, tidak sehat, dan cedera secara epistemologis dan metodologis, sehingga ekstremisme Islam telah dan sedang menjelma menjadi suatu ancaman global bagi logika beragama yang sehat.
• Konsep Islam Tentang Pluralisme
Setidaknya ada 4 tema pokok dalam al Qur’an yang berbicara tentang masalah pluralisme. Pertama, tidak ada paksaan dalam beragama, sesuai ayat: “ La ikraaha fi ad diin “ . Kedua, pengakuan akan keberadaan agama-agama lain, sebagaimana tersurat dalam ayat : “ Orang-orang yang beriman ( Muslim), Yahudi , Nasrani, Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan memperoleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih “.Ketiga, kesatuan kenabian. Konsep ini bertumpu pada surat as Syuraa ayat 13 ; “ Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama sebagaimana diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya. Keempat, Kesatuan pesan ketuhanan. Konsep ini berpijak pada surat an Nisaa ayat 131. ”Dan kepunyaan Allah lah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan sesungguh nya Kami telah memerintahkan orang-orang yang di beri kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah “.
• Menuju Negara Berbasis Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme
Kekerasan demi kekerasan yang mengatasnamakan agama setidaknya menjadi problem tersendiri bagi pemerintah, yaitu bagaimana pemerintah mengatasi ego masing-masing kelompok untuk tidak membenarkan kelompok masing-masing, lantas menyalahi kelompok lainnya. Perlu ada penyelesaian dari persoalan-persoalan antara agama dan Negara. Persoalan itu biasa diselesaikan (setidaknya) dengan pendekatan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Trilogi tersebut dalam Negara-negara maju adalah suatu keniscayaan, walaupun kadang, tidak dipungkiri masih saja ada kelemahan juga disamping kelebihannya.
Tetapi yang pasti, persoalan hubungan agama dan Negara adalah persoalan yang menuntut keseriusan peran Negara, ilmuwan, dan agamawan untuk ikut memikirkan dan mencari solusi bagaimana memposisikan secara diametral antara keduanya. Sejauh mana Negara bisa mengintervensi agama atau sampai pada batas mana agama bisa berperan dalam ruang publik.
Kenyataan dewasa ini, Indonesia telah dikenal paling banyak ditimpa konflik antar-agama. Di belahan wilayah-wilayah tertentu, wujud toleransi antar agama seperti tidak terdengar lagi oleh karena di dalamnya telah menggema perilaku kekerasan yang notebene dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Di Situbondo misalnya, perilaku kekerasan menjelma dalam bentuk pembakaran gereja, di Ambon menjelma dalam bentuk pembakaran sarana pendidikan, gedung pemerintah, fasilitas ibadah dan pembunuhan nyawa manusia tak berdosa. Demikian pula kekerasan yang terjadi di kabupaten Poso. Belakangan kekerasan atas nama agama juga dialami Jemaat Ahmadiyah.
Lantas, bagaimana seharusnya hubungan atau relasi ideal antara agama dan Negara? Pemaknaan terhadap kebebasan berkeyakinan di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya dengan ketentuan mengenai kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu.

Penutup.
Pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme. Tiga pilar utama yang kini tengah di usung oleh kaum liberal tengah menjadi virus yang menjangkiti kaum intelektual di seantero Indonesia. Betapa tidak, perkembangan pemikirannya mampu mempengaruhi para civitas academia di universitas-universitas di negeri ini. Dan bukan tidak mungkin jika tidak di bendung, bisa meluas ke seluruh penjuru nusantara laksana air bah yang meluap. Menjadi tugas kita semua memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat awam akan wajah Islam yang sesungguh nya. Islam yang santun, moderat, hangat, humanis, yang bisa saling menghormati akan kepercayaan dan keyakinan antar umat beragama tanpa harus kehilangan identitas diri sebagai islam sejati dan tentu nya dalam batasan-batasan yang sudah di tentukan.
Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Nablurrahman Annibras, Lc.
Sumber


Nb: Saya copy untuk koleksi pribadi dan menambah wawasan saya secara pribadi, jika ada yang berkenan untuk menyebarkannya harap konfirmasi kepada pemilik artikel terlebih dahulu. semoga bermanfaat bagi pembaca yang lain.

Posted by Unknown on 5:54 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "PLURALISME"

Leave a reply

Blog Archive

Labels

Recently Commented

Recently Added