|

METAFORA AL-QUR’AN PERSPEKTIF MU’TAZILAH

METAFORA AL-QUR’AN PERSPEKTIF MU’TAZILAH (Pengaruh Rasionalitas terhadap Pemahaman Ayat-ayat Majaz/Metafor)

A. Pendahuluan
Sebagai kitab suci yang autentik dan sempurna, wajar jika al-Qur’an dianggap sakral dan harus diterima sebagai doktrin yang didekati secara dogmatis-ideologis. Namun, tentulah akan lebih memuaskan akal dan melegakan hati, jika al-Qur’an didekati melalui metodologi ilmiah-rasional. Untuk itu, ayat-ayat al-Qur’an-terutama yang menimbulkan pemahaman ambigu (mutasyabihat) harus mendapat “sentuhan” makna esoteris (takwil). Perangkat takwil ini melahirkan beragam interpretasi tentang implementasi kajian bahasa, dan di antara fokus kajian pemikir belakangan adalah wacana majas (Metafora) vis a vis hakiki (denotative). Di sinilah pentingnya penalaran terhadap ayat-ayat al-Qur’an.[1]

Jika majaz dijadikan sebagai alat tertentu untuk pengayaan bahasa, setiap pemahaman terhadap majas dan aplikasinya tidak mungkin terpisahkan dari deskripsi apa pun tentang karakteristik bahasa dan maknanya. Deskripsi tentang karakteristik bahasa akan menjadi sempurna dalam kerangka pertumbuhan akal dalam perspektif pengembangan ilmu pengetahuan. Pemihakan kaum Mu’tazilah terhadap eksistensi akal merupakan keistimewaan tersendiri di antara mazhab teologi lain dan memiliki implikasi yang sangat luas, terutama hal-hal yang berkaitan dengan relasi antara majas, bahasa, dan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, lebih khusus makalah ini akan menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan di antaranya bagaimana Mu’tazilah, sebagai mazhab yang dikenal mengedepankan rasionalitas mengungkapkan definisi tentang Majaz/Metafora yang dikaitkan dengan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

B. Pandangan Mu’tazilah atas Ayat-ayat Majaz/Metafor

Untuk mengungkapkan konsep metafora al-Qur’an dalam perspektif Mu’tazilah, penulis akan menjelaskan melalui pendapat beberapa tokoh Mu’tazilah dan karya-karyanya yang membahas tentang kajian bahasa, seperti Muqatil ibn sulaiman, Abu ‘Ubaidah, Al-Farra’, Al-Jahizh, dan Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar.

1. Muqatil ibn Sulaiman dan Eksplorasi Keragaman Makna Teks


Pandangan Muqatil ibn Sulaiman tentang majas ditinjau dari sisi terminologi pada khususnya dan kajian balaghah dapat dilihat melalui karyanya al-Asybah wa al-Nazha’ir. Di dalamnya menggambarkan adanya kesan keragaman makna teks (dalalah).

Menurut Muqatil, bahwa dalam satu kata pasti mempunyai makna atau tujuan tertentu. Artinya, makna atau maksud lainnya berasal dari satu kata itu. Ketika mengisyaratkan kepada makna aslinya. la mengatakan, “inilah makna denotatifnya (al-ma’na al-haqiqi)”. Maksudnya adalah, bahwa sebuah kata mempunyai satu makna asli yang populer dan bisa dipahami secara spontan ketika diucapkan.

Misalnya, dalam al-Qur’an kata “maut” digunakan untuk lima arti; air mani, sesat dari tauhid, tanah yang gersang, tanah yang ditumbuhi sedikit tanaman, dan hilangnya nyawa. Dari kelima arti itu, empat makna pertama digunakan untuk makna sekunder (ma’na far’i) dan makna kelima adalah makna primer (ma’na al-ashli). Muqatil menegaskan bahwa mati dalam pengertian lepasnya ruh digunakan dalam firman Allah “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati.” (Q.S. Al-Zumar (39): 30), dan “Setiap jiwa akan merasakan kematian.” (Q.S. Ali Imran (3): 195).[2] Dengan demikian, makna terakhir itulah yang merupakan makna asli atau makna primer dari kata “mati”.

Muqatil juga menempuh metode seperti itu, ketika menghadapi ungkapan dan redaksi kalimat dalam al-Qur’an. Dia tertegun ketika sampai pada kata hasanah (kebaikan) dan sayyi’ah (keburukan), al-zhulumat (kegelapan) dan al-nur (cahaya), al-thayyib (bagus, bersih) dan al-khaba’its (kotor, jijik), aqama al-shalah (mendirikan shalat) wama baina aidiihim wa kbalfahum (dan apa yang ada di hadapan mereka dan di belakangnya), mustaqorrun wa mustauda’ (tempat tetap dan tempat simpanan).”[3]

Muqatil memahami bahwa ada makna yang tersurat dan ada makna yang tersirat. Misalnya, kata al-zhulumat wa al-nur memiliki dua arti, pertama, al-zhulumat adalah menyekutukan Allah (syirk), sedangkan al-nur (cahaya) adalah iman kepada Allah, seperti dalam firman-Nya:
الله وليّ الذين امنوا يخرجهم من الظلمات الى النور
Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya….”(Q.S. Al-Baqarah (2): 257). Maksudnya, mengeluarkan dari perbuatan syirik menuju keimanan. Juga dalam surah al-Ahzab (33): 43;
هو الذي يصلّي عليكم وملئكته ليخرجكم من الظلمات الى النور

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia menghindarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya.”
Maksudnya, dari perbuatan syirik menuju keimanan. Kedua, al-zhulumat adalah malam, sedangkan al-nur (cahaya) adalah siang. Ini bisa ditemukan dalam surah Al-’An’am (6): 1,

الحمد لله الذي خلق السموات والأرض وجعل الظلمات النور

Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.”[4]
Dalam hal ini, Muqatil tidak memahaminya dengan arti syirik dan keimanan, tetapi menakwilkannya dengan siang dan malam. Dari sini tampak bahwa dia bermaksud menjelaskan adanya arti yang beragam dalam al-Qur’an.

2. Abu ‘Ubaidah dan Macam-macam Majaz (Metafora)


Setelah Muqatil ibn Sulaiman menulis Al-Asybah wa al-Nazha’ir, Abu ‘Ubaidah Mu’tamar ibn al-Mutsanna (w. 207 H) menyelesaikan Majaz al-Qur’an.[5] Bentuk-bentuk majas yang menjadi fokus kajian Abu ‘Ubaidah. Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, bahwa Abu ‘Ubaidah dalam karyanya Majaz al-Qur’an, telah mengikuti jalan para ahli bahasa pendahulunya, yaitu mengaitkan nahwu dengan bentuk kata dan struktur kalimat. Ini berbeda dengan pandangan ulama kontemporer yang menganggap bahwa ilmu nahwu hanya sebatas untuk mengetahui kondisi akhir kalimat; baik dalam susunannya maupun redaksinya.[6]

Ilmu nahwu dalam perspektif ulama klasik juga dibahas oleh Abu ‘Ubaidah dalam karyanya, Majaz al-Qur’an, menurutnya, majaz ialah cara orang Arab untuk menyatakan maksud dan tujuan mereka, serta menjelaskan apa yang terjadi dalam kalimat berupa taqdim (mendahulukan kata), ta’khir (mengakhirkan kata), hadzf (membuang kata), atau lainnya.[7] Definisi majaz, menurut Abu ‘Ubaidah mencakup semua pembahasan yang termasuk dalam kajian gaya bahasa (uslub).

Adapun pemahaman Abu ‘Ubaidah tentang majaz diperkuat oleh cerita yang disampaikannya berkaitan dengan alasan dia menulis Majaz al-Qur’an kepada Fadhl ibn Rahi’ melalui sekretarisnya. Sekretaris Fadhl ibn Rabi’ bertanya kepada Abu ‘Ubaidah tentang firman Allah swt., “Tangkainya seperti kepala-kepala setan” (QS. Al-Shaffat (37): 6.S) apakah yang dimaksud dengan kepala setan? Mengapa ungkapan ini -yang ditujukan untuk menakut-nakuti- tidak dikenal oleh bangsa Arab? Abu ‘Ubaidah menjawab:

“Allah SWT berbicara dengan bangun Arab sesuai dengan bahasa yang mereka gunakan. Tidakkah engkau mendengar perkataan Amru’ Al-Qais, ‘Apakah ia akan membunuhku, padahal tempat tidurku yang mengawasiku mempunyai tatapan mata yang tajam seperti taring raksasa?’ dalam konteks ini, syair itu tidak terlalu mementingkan sosok raksasa, tetapi ketika raksasa dapat menakuti mereka, digunakanlah kata tersebut. Sekretaris Fadhl kemudian dapat menerima pendapatku dan sejak itu aku (Abu ‘Ubaidah) pun bertekad untuk mengarang sebuah kitab yang membahas tentang Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan majaz. Dan, ketika aku tinggal di Bashrah, aku rampungkan penulisan kitab tersebut. Kemudian, aku beri judul Majaiz Al-Qur’an.”[8]

Kisah Abu ‘Ubaidah ini memberi kesimpulan tentang dua hal; pertama, bahwa setiap kaidah bahasa (nahwu) berjalan seiring dengan realitas bahasa dan perbendaharaannya. Selama ini, orang yang mempelajari bahasa hanya terpaku pada tata bahasa, tanpa menyelami model susunan kata dan kalimat. Padahal, susunan kalimat tersebut dapat mengatur tata bahasa dan bukan tata bahasa yang mengatur kalimat.

Kedua, Abu ‘Ubaidah mengembalikan perumpamaan dalam al-Qur’an kepada cara pengungkapan orang Arab, karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Metode yang dia pakai dalam kitabnya bertumpu pada dua hal tersebut. Metode Abu ‘Ubaidah ini melanjutkan apa yang telah dicanangkan oleh Ibn ‘Abbas dalam penjelasannya, “Jika kalian bertanya tentang kalimat yang ganjil dalam al-Qur’an, cobalah untuk mencarinya dalam syair, sebab syair adalah referensi bangsa Arab.[9]

Dengan demikian, istilah majaz perspektif Abu ‘Ubaidah, meskipun mempunyai korelasi kuat dengan makna etimologinya, sebenarnya hanya berkutat pada terminologinya saja. Penggunaan terminologi ini sekedar eksplorasi wacana yang masih jauh untuk dikatakan sebagai penjelasan atau pengertian, meskipun terkadang dapat mewakili maksudnya.[10]
Menurut Abu ‘Ubaidah, hadzf (membuang) dianggap masuk ke dalam majaz (metafora). Dalam hadzf atau mahdzuf (yang dibuang), disyaratkan adanya kesepahaman antara pembicara (mutakallim) dan orang yang diajak bicara (mukhatab) tentang kata yang dibuang. Ketika mengomentari firman Allah yang berbunyi,

وأمّا الذين اسودّت وجوههم اكفرتم بعد ايمانكم

Adapun orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan). Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman” (Q.S. Ali Imran (3): 106).

Abu ‘Ubaidah berkata, “Jika maknanya sudah diketahui, orang Arab mempersingkat kalimat. Semestinya ayat itu berbunyi “adapun orang yang menjadi hitam muram mukanya, dikatakan kepada mereka, ‘mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman?. Kalimat dikatakan kepada mereka dibuang untuk mempersingkat. Namun tidak mengurangi kejelasan maknanya.

Contoh lain, ketika abu ‘Ubaidah menguraikan makna firman Allah,

وأشربوا في قلوبه العجل بكفرهم

Dan telah diresapkan dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya” (Q.S. Al-Baqarah (2): 93),
Abu ‘Ubaidah berkata, maksudnya “hati mereka diberi rasa kecintaan kepada anak sapi”. Inilah yang disebut sebagai majas ikhtishar (meringkas), sebab kata ‘kecintaan menyembah’ tidak ditampakkan dalam ayat. Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berbunyi “dan bertanyalah kepada kampung’. Maksudnya, tanyalah kepada penduduk kampung tersebut.[11]

3. Al-Farra’ dan Kebekuan Terminologi


Terdapat batasan yang lebih tegas tentang konsep dan definisi majaz. Al-Farra’ tidak mempergunakan istilah ‘majaz’, sebagaimana digunakan oleh Abu ‘Ubaidah. Dia lebih memilih kata tajawwaza, yang berarti melebihi. Dalam menguraikan maksud ayat “fama rabihat tijaratuhum” (maka perdagangan mereka tidak akan beruntung) (QS. Al-Baqarah (2): 16). Al-Farra’ beranggapan bahwa penyandaran kata rihb (beruntung) kepada tijarah (perdagangan) merupakan bentuk ungkapan yang melebihi ungkapan sebenarnya (haqiqi).

Penggunaan kata kerja tajawwaza dalam konteks ini menunjukkan bahwa konsep majaz atau tajawwuz yang dikemukan oleh al-farra’ selangkah lebih maju dari konsep yang dikembangkan abu ‘Ubaidah. Hal ini disebabkan arti dari tajawwaza fi al-kalam adalah takallama bi al-majaz (berbicara dalam bentuk majas).[12]
Untuk menggali konsep tajawwaza Al-Farra’, lebih dahulu dilihat bagaimana usahanya yang hendak mengembalikan ungkapan-ungkapan al-Qur’an dengan gaya bahasa. Konsep tajawwaza atau majaz apabila dikaitkan dengan ayat di atas memunculkan pemahaman bahwa keberuntungan atau kerugian hanya terjadi pada barang dagangan. Dengan demikian, dapat dimengerti maknanya. Atau dengan kata lain, majas yang disandarkan pada kata tijarah tidak sampai menyebabkan kerancuan makna sebab ada keterkaitan erat antara pedagang -pelaku yang sebenarnya beroleh laba- dan barang dagangan yang menghasilkan laba atau kerugian. Dengan bentuk majas seperti ini, secara langsung dan mudah, seorang pendengar atau pembaca dapat memahami makna yang dikehendaki oleh ungkapan tersebut, yaitu keuntungan seorang pedagang melalui perdagangannya.

Yang perlu diperhatikan pada pembahasan tentang perhatian Al-Farra’ terhadap makna tajawwaza dalam suatu ungkapan adalah penemuannya terhadap hubungan antara majas (makna metaforis) dan hakekat (makna denotatif), dalam kaitan penyandaran makna kata kerja kepada selain pelakunya yang disebabkan adanya hubungan antara pelaku yang sebenarnya dan pelaku permisalan dalam sebuah ungkapan.[13]

Selain pengiasan (al-tajawwuz) yang menunjukkan adanya penyandaran makna, contoh di atas, juga terdapat pengiasan yang menunjukkan bentuk kata sharf. Kata fa’il (pelaku) menunjukkan arti subjek atau pelaku perbuatan tersebut. Namun, jika difungsikan sebagai majas, ia dapat menunjukkan arti objeknya. Contoh firman Allah,فى عيشة راضية (dalam kehidupan yang diridhai). Kata radhiyatin merupakan bentuk kata pelaku (fa’il) yang berarti “yang meridhoi” dan seharusnya mengarah pada arti subjek, namun kalimat tersebut mengarah sebagai objek yang berarti “diridhai”. Contoh serupa, misalnya, ماء دافق (air yang dimuntahkan). Kata dafiq meskipun bentuknya adalah fa’il (subjek, memuntahkan), tetapi artinya adalah yang dimuntahkan merujuk ke bentuk maf’ul (objek). Dengan demikian, kata dafiq mengandung makna madfuq.

Selam itu, corak lain yang menurut Al-Farra’ termasuk dalam kategori majas, adalah kata ganti (dhamir) untuk orang berakal dapat digunakan sebagai majas ketika yang ditunjuk kata ganti itu adalah benda-benda atau makhluk yang tidak berakal. Corak semacam mi, dalam istilah Al-Farra’ adalah al-tasykhish (personifikasi). Contoh personifikasi terdapat dalam firman Allah yang menceritakan kisah mimpi nabi Yusuf:

إني رايت احد عشر كوكبا والشمس والقمر رايتهم لى الساجدين

Aku melihat mereka (sebelas bintang, matahari, dan bulan) bersujud kepadaku” (QS. Yusuf (12): 4)
وقالوا لجلودهم لم شهدتم علينا
Dan mereka berkata kepada kulit-kulit mereka mengapa kalian bersaksi atas kami.” (Q.S. al-Fushshilat (41): 21) dan
ياأيّها النمل ادخلوا مناسككم لا يحطمنكم سليمان وجنوده وهم لا يشعرون

Wahai bangsa semut masuklah kamu dalam tempat tinggalmu, agar kamu tidak di injak Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak merasa. (QS. Al-Naml (27): 18).[14]

Semua contoh tersebut menegaskan adanya bentuk personifikasi dalam kalimat majas. Adapun unsur yang berperan menjadi legitimasi bagi majas semacam ini adalah adanya keserupaan dari aktifitas keduanya. Dengan kata lain, antara makhluk berakal dan hewan maupun benda-benda yang tidak berakal memiliki keserupaan tertentu dalam perbuatan sehingga kata ganti orang berakal (dhamir li al-‘aqil) dapat digunakan untuk mereka yang tidak berakal (ghair al-‘aqil).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa Abu ‘Ubaidah dan Al-Farra’ telah mampu membuka cakrawala tentang gaya bahasa majas dan menghancurkan ambiguitas majas yang belum bisa dipecahkan sebelumnya. Dengan demikian, mereka melancarkan jalan bagi Al-Jahizh, Ibn Qutaibah, dan Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar yang meneruskan proyek besar mereka dalam menginterpretasikan teks al-Qur’an untuk meraih paradigma tauhid (tauhid) dan keadilan (al-’adl). Usaha mereka merupakan mata rantai yang bersambung, baik untuk generasi sebelumnya maupun sesudahnya.

4. Al-Jahizh dan Kematangan Paradigma


Dalam pandangan al-Jahizh, peran bahasa terbatas pada fungsinya sebagai alat penjelasan (ibanah). Menurutnya, fungsi tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam lingkungan komunitas manusia, khususnya untuk saling tukar informasi dan pengetahuan.[15]

Ada dua hal yang harus dipenuhi saat seseorang mengungkapkan perkataan dalam bentuk majas, pertama, ada keterkaitan antara makna yang terambil dan makna yang dituju melalui perkataan tersebut. Kedua, transformasi makna harus melalui proses kesepakatan kolektif, bukan semata-mata didasarkan pada kebebasan individual.[16] Maksud dari kedua syarat tersebut adalah untuk mempertahankan serta melestarikan ‘kejelasan’ yang nota bene merupakan sasaran dari fungsi bahasa itu sendiri.

Pemikiran Al-Jahizh menyangkut tema ‘kejelasan makna’ memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan urgensi bahasa sebagai alat komunikasi. ‘Kejelasan’ dalam hal ini merupakan salah satu pilar terpenting bagi fungsi bahasa itu sendiri. Menurutnya, di antara ucapan yang disebut sebagai perkataan adalah ungkapan yang dapat mengarahkan pendengarnya pada makna yang dimaksud pembicara.[17] Pandangan ini menjadi motivasi tersendiri bagi Al-Jahizh sehingga mendorongnya untuk melakukan telaah yang lebih intensif terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan gambaran setan. Ayat itu sendiri dalam pandangan kebanyakan orang menyimpan kerancuan secara logika. Abu ‘Ubaidah pernah mencari penjelasan mengenai maksud dari رؤوس الشياطين (kepala-kepala setan) kepada Al-Jahizh, sehingga Al-Jahizh terdorong untuk menyusun karyanya.[18]

Berpijak pada ayat tersebut, Al-Jahizh menolak pandangan para ahli tafsir yang mengatakan bahwa ru’us al-syayathin adalah sejenis tumbuhan yang ada di daerah Yaman. Mereka mengembalikan pemisalan dalam ayat tersebut kepada pemahaman yang bersifat indrawi dan tidak menyentuh ruang internal dari ayat tersebut . Menurut Al-Jahizh, tatkala mereka memahami firman Allah yang berbunyi;

إنّها شجرة تخرج فى اصل الجحيم, طلعها كأنّها رؤوس الشياطين

Artinya; Ia adalah tumbuhan yang keluar dari neraka, seperti kepala setan (QS. Al-Shaffat (37): 7)
Mereka menganggap bahwa ru’us al-syayatbin (kepala setan) adalah tanaman berbau busuk yang tumbuh di daerah Yaman. Adapun para teologi Islam tidak memahami ayat tersebut sebagaimana kebanyakan ahli tafsir mengartikannya. Menurut para teologi, kepala-kepala setan adalah sebuah simbol perilaku jin yang fasik dan membangkang.

Berkaitan dengan tema ini, Al-jahizh melakukan komparasi antara matsal (perumpamaan) dengan tasybih (penyerupaan) sebuah pemikiran yang semakin mempertegas adanya kerancuan antara berbagai istilah yang digunakan untuk menunjukkan makna majas.

Al-Jahizh memperkenalkan istilah matsal juga sebagai lawan dari bentuk ungkapan haqiqi. Di sini dia menyamakan makna matsal dengan majas sebagai bentuk ungkapan yang sama-sama berlawanan dengan bentuk haqiqi (denotative).

Semua keterangan di atas semakin mempertegas adanya fenomena tumpang-tindih menyangkut batasan-batasan definitif tentang matsal, tasybih, majaz [19] meskipun istilah majas memiliki batasan definitif yang lebih tegas.[20] Oleh karena itu, istilah tersebut terdengar lebih dominan dalam paradigma Mu’tazilah yang menerima metode interpretasi makna konotatif (ta’wil); suatu metode yang mereka terapkan terhadap ayat yang secara eksternal (makna hakiki) tidak sejalan dengan penalaran.

5. Pandangan Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar tentang Majas


Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar memosisikan bahasa sebagai bagian dari petunjuk akal. Namun, Al-Qadhi mengidentifikasi perbedaan dari bagian-bagian bahasa sebagai petunjuk melalui dua syarat; pertama, menempatkan kata-kata yang disesuaikan dengan kata-kata sebelumnya, kedua, memperhatikan keadaan orang yang berbicara dan maksud dan perkataan itu sehingga maksudnya dapat dipahami.

Menurutnya, adanya perluasan makna tidak berarti bahwa makna tersebut berbeda dari makna aslinya, oleh karena itu dia mensyaratkan al-ism al-lughawi (sebutan etimologis) harus mempunyai makna hakiki (denotative) sebelum akhirnya digunakan dalam bentuk majas (konotatif).

Terjadinya perluasan makna atau pemaknaan lain dari suatu kata (majaz) dalam bahasa akan berpengaruh pada pendapat kaum Mu’tazilah terhadap ungkapan mereka bahwa bahasa sebagai petunjuk (dalalah). Sedangkan dalam bahasa-yang juga diikuti oleh adanya perluasan makna dan majas- telah terjadi distorsi fungsi sebagai pengganti daripada .sebagai petunjuk. Sehingga ada pernyataan yang dilontarkan untuk mengkritik Mu’tazilah;

“Zahiriyyah, Ibn Al-Qash dari kalangan mazhab Syafi’iyyah, Ibn Huwaiz dari mazhab Maliki dan lainnya, menyebutkan bahwa majas tidak berbeda dari sebuah kedustaan dan sudah tentu al-Qur’an terhindar dari segala macam bentuk kedustaan. Seorang pembicara (mutakallirn) tidak akan condong pada kedustaan tersebut kecuali tidak ada jalan baginya untuk menampilkan sesuatu yang benar, dan hal itu tidak mungkin akan terjadi pada Allah swt.[21]

Penolakan Mu’tazilah terhadap pernyataan tersebut meliputi dua hal; pertama, dari segi pembicara (al-mutakallim), dan kedua dari perkataannya (al-kalam). Dari segi pembicara, kaum Mu’tazilah membedakan antara pembicara yang pasti kebenarannya (Allah swt.) dan pembicara biasa (manusia) yang belum pasti kebenarannya. Jika perkataan berasal dan zat yang tetap keputusannya (Allah), ia mengisyaratkan tidak adanya kemustahilan, kedustaan, dan penyesatan. Adapun perkataan mereka yang belum diketahui kebenarannya, tetap terbuka jalan untuk menelitinya, membahasnya, dan meyakinkannya. Namun, dalam hal ini perkataan keduanya tetap menjadi dalalah (petunjuk).

Dari segi perkataan (kalam), Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar menjelaskan bahwa jika perkataan berada dalam posisi yang tidak berhubungan dengan kata yang lain, tetapi masih mempunyai makna sesungguhnya, secara otomatis kata tersebut tetap diartikan sebagaimana arti denotatifnya.
Dari perbedaan antara pembicara yang telah pasti kebenarannya (Tuhan) dan manusia, Mu’tazilah mengidentifikasi kalam Allah (Al-Qur’an) dan dalil-dalil syari’at yang ada di dalamnya. Dengan demikian, mereka berpendapat “Al-Qur’an adalah Mu’jiz (mengandung mukjizat), jika berperan sebagai petunjuk pembenaran”.

Jika perluasan makan dan polisemi (isytirak) sudah menjadi konvensi masyarakat pengguna bahasa, pembicara (mutakallim) tidak lagi berhak memindahkan kata apa saja kepada makna yang dia inginkan karena jika hal itu terjadi, urgensi dan substansi bahasa sebagai petunjuk maksud (dalalah] akan hilang. Dalam bahasa, dikenal dua penyebutan kosa kata, al-laqab al-mahdhah (sebutan-sebutan murni) dan asma’ al-ma’ani wa al-shifatt (nama-nama yang memiliki makna atau nama-nama sifat).

Perbedaan keduanya adalah sebutan murni (al-laqab al-mahdhah) hanya berfungsi untuk menunjuk sasaran sebutan itu. Contohnya, penamaan beberapa kata benda yang tertuju hanya kepada benda-benda itu tanpa ada penunjukan sifat-sifarnya atau penjelasan ciri-cirinya. Adapun asma’ al-maani dan asma’ al-shifat menunjukkan ciri-ciri khusus yang ada pada sasaran nama yang dituju. Contohnya kata hitam, tertuju pada sifat hitam yang ada pada sesuatu yang menjadi sasaran nama itu.

Dengan demikian, sebutan murni (al-laqab al-mahdhah) tidak dapat menunjukkan banyak arti, selain apa yang menjadi penanda dari kata tersebut dan tidak dapat digunakan sebagai makna majas, seperti untuk mengelaborasi makna sesuatu yang abstrak dari makna-makna yang dimaksud. Sebaliknya, ism al-shifat wa ism al-ma’ani dapat menerima makna majas dan isti’arah.[22] Karenanya Mu’tazilah tidak menetapkan majas dalam bentuk sebutan-sebutan murni, tetapi dalam bentuk nama-nama sifat dan nama-nama yang memiliki maksud.[23]

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa majas tidak mungkin digunakan untuk sebutan murni-yang hanya ditujukan untuk benda tertentu-karena sebutan murni hanya bersifat ‘memberitakan’, tetapi tidak memberikan makna, memberikan indikasi, tetapi tidak mampu memberikan arti. Oleh karena ini, majas hanya dapat digunakan pada sifat-sifat dan nama-nama yang memiliki makna. Jika nama tersebut belum dianggap sebagai nama sebelum dihubungkan dengan makna tertentu, maka proses peralihan ke makna majas atau isti’arah disyaratkan memiliki hubungan erat antara makna nama sesuatu itu dan indikasi yang dimajaskan.
Dalam hal ini Mu’tazilah diwakili ‘Abd Al-Jabbar mengkhawatirkan adanya ‘penyerupaan’ terhadap hubungan antara makna-makna itu. Sebab, dalam filsafat dan paradigma pemikirannya, mereka berusaha menghilangkan penyerupaan zat dan sifat Allah swt. dengan manusia. Hanya saja makna penyerupaan di antara makna majas dan makna denotative dapat dipahami melalui indikasi ungkapan majas dalam al-Qur’an.
Yang perlu digarisbawahi dalam pandangan Mu’tazilah adalah bahwa al-Qur’an tidak akan terlepas dari dua bentuk argumentasi; rasional dan wahyu. Menurut mereka,
‘Kalamullah swt, harus memiliki dua argumentasi yang kuat, pertama, secara tekstual kalamullah menunjukkan maksudnya sendiri, kedua, maksud yang dikehendaki kalamullah dapat ditunjukkan oleh signifikansi argumentasi lain. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya harus ada hubungan yang kuat antara makna eksoteris dan makna esoterisnya. Jika kalamullah dipahami melalui argumentasi wahyu, ia harus berhubungan dengan bentuk syarth (hubungan sebab akibat) dan istitsna’i (pengecualian). Sedangkan jika hubungan itu dipahami melalui argumentasi rasional, bentuk ini lebih kuat. Oleh karena itu, setiap firman Allah tidak terlepas dari dua bentuk, yaitu wahyu dan rasio.”[24]

Pengklasifikasian redaksi al-Qur’an kepada dalil rasional dan wahyu hanyalah berhubungan dengan pengklasifikasian antara ayat ahkam dan tasyri’ (pensyari’atan) dan ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid dan keadilan Tuhan. Mu’tazilah memahami bentuk pertama sebagai bentuk yang harus dipahami dengan pendekatan tekstual dan mereka mensyaratkan adanya sesuatu yang menunjukkan maksud dalam signifikansi tekstual tersebut. Artinya, teks itu sendiri dapat memberikan penjelasan yang memadai.
Bentuk kedua, yaitu ayat-ayat yang membicarakan tauhid dan keadilan Tuhan, Mu’tazilah memberikan porsi argumentasi rasional yang lebih besar. Oleh karena itu, perlu dibahas lebih jauh tentang paradigma penakwilan Mu’tazilah terhadap ayat-ayat ini.

C. Metafora dan Language Game (L. Wittgenstein)

Salah satu thesis pokok sebagai esensi dari pandangan Wittgenstein tentang language game adalah “makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaannya di dalam hidup”[25] karya Wittgenstein ini lebih menekankan pada aspek pragmatic bahasa atau lebih meletakkan bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dalam hidup manusia.

Bagi dia, bahasa tidak hanya memiliki satu struktur logis saja, melainkan segi penggunaannya dalam hidup manusia yang bersifat kompleks yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Berdasarkan pemikiran-pemikirannya, Wittgenstein sebenarnya membuka suatu cakrawala baru dalam berfilsafat yaitu tidak lagi didasarkan atas logika formal dan matematis, melainkan berdasarkan kepada bahasa sehari-hari (ordinary language).[26]

Istilah language game (tata permainan bahasa) dipakai oleh Wittgenstein dalam arti bahwa menurut kenyataan penggunaannya, bahasa adalah bagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Analog yang dikemukakan oleh Wittgenstein itu menunjukkan bahwa dalam berbagai macam permainan terdapat aturan-aturan main tersendiri yang aturan tersebut harus ditaati dan harus merupakan pedoman dalam tata permainan.[27]

Dalam ilmu bahasa kata memang memiliki makna leksikal, akan tetapi tidak memiliki makna informasi hanya terbatas sebagai suatu simbol saja, sehingga sebenarnya terdapat kata yang maknanya menunjukkan suatu realitas kehidupan. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan segi pragmatic bahasa, makna sebuah kata sangat tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, demikian pula makna sebuah kalimat pada hakekatnya sangat tergantung penggunaannya dalam bahasa (wacana) dan akhirnya makna bahasa itu sangat tergantung pada penggunaannya dalam hidup manusia.

D. Hubungan antara Metafora Mu’tazilah dengan Filsafat Bahasa

Pandangan beberapa tokoh Mu’tazilah di atas, menunjukkan adanya perbedaan makna dalam memahami ayat-ayat metafora yang ada dalam al-Qur’an. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang wajar, karena dalam upaya memahami suatu teks, khususnya ayat-ayat metafor, diperlukan pula penguasaan beberapa “alat” untuk memahaminya. Selain itu, perbedaan latar belakang pemikiran para tokoh Mu’tazilah tersebut juga berpengaruh terhadap pengambilan kesimpulan atas ayat-ayat metafor, baik yang sifatnya tekstual maupun kontekstual. Hal ini sebagaimana dialami oleh tokoh Mu’tazilah pertama, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. la mengatakan, bahwa dalam satu kata mempunyai makna atau segi tertentu. la juga berpendapat, bahwa ada makna yang tersurat dan ada makna yang tersirat.

Dalam hal majas, Muqatil berpendapat adanya makna yang hakiki dan makna yang bukan asli. Hal ini berbeda dengan pemahaman beberapa tokoh selanjutnya. Abu ‘Ubaidah, misalnya, yang memaknai majaz secara lebih luas, karena mencakup semua pembahasan yang termasuk dalam kajian gaya bahasa (uslub). Sehingga bisa saja terjadi taqdim (mendahulukan kata), ta’khir (mengakhirkan kata), hadzf (membuang kata), atau lainnya.

Sementara itu, Al-Farra’ dan al-Jahizh juga berpendapat sama dengan Ubaidah, bahwa majas mempunyai makna lebih. Fenomena ini menunjukkan bahwa ‘Ubaidah, AI-Farra’ dan al-Jahizh telah mampu membuka cakrawala rentang gaya bahasa majas dan menghancurkan ambiguitas majas yang belum bisa dipecahkan sebelumnya. Mereka menginterpretasikan teks al-Qur’an untuk meraih paradigma tauhid (tauhid) dan keadilan (al-’adl).

Sedangkan Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar, meskipun mempunyai pendapat yang sama dengan ‘Ubaidah, Al-Farra’ dan al-Jahizh, tapi la mengakui, bahwa adanya perluasan makna tidak berarti makna tersebut berbeda dari makna aslinya, oleh karena itu dia mensyaratkan al-ism al-lnghawi (sebutan etimologis) harus mempunyai makna hakiki (denotative) sebelum akhirnya digunakan dalam bentuk majas (konotatif).

Upaya memahami majas yang dilakukan para tokoh Mu’tazilah di atas, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Wittgenstein dengan language gamenya, Thomas Aquinas dengan analisis bahasanya yang menggunakan metode analogi dan metafor. Dengan language game, Wittgenstein menekankan pada aspek pragmatic bahasa atau lebih meletakkan bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan analogi, Thomas berupaya untuk memadukan hubungan horizontal antar ciptaan di dunia ini dengan hubungan vertikal, antara ciptaan itu dengan Tuhan. Di sini, Thomas hendak mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis, dengan upayanya dengan membagi analogi menjadi beberapa macam, seperti; analogi proportion, analogi proportionalitas, analog duorum et tertius, dan analog unius ad alterum, Bahkan karena masih belum puas, Thomas menciptakan rincian baru yaitu analogi dengan prioritas pada Tuhan sendiri, jadi titik tolaknya adalah Tuhan kemudian analogi yang berangkat dan sifat-sifat ciptaan yang titik tolaknya adalah ciptaan. [28]

Sementara dengan Metafora, Thomas juga berusaha untuk mengungkap keberadaan Tuhan yang bersifat transenden di satu pihak melalui bahasa yang acuannya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sifatnya real dan terbatas. Melalui ungkapan bahasa metaforis inilah, Thomas berusaha mengklarifikasikan persoalan-persoalan teologi secara ilmiah filosofis. Seperti upaya Thomas mendefinisikan “Tangan Tuhan menciptakan keajaiban” dalam Summa teologiae. Secara harfiah, yang dimaksud tangan mengacu pada anggota badan manusia. Namun yang dimaksud sebenarnya dalam “Tangan Tuhan” adalah kekuatan atau kekuasaan dari Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini, Thomas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataran ilmiah filosofis, sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis.[29]

Upaya yang dilakukan Thomas ini, pada dasarnya sama dengan yang dilakukan oleh para tokoh Mu’tazilah di atas, termasuk juga oleh para mufasir pada umumnya dalam rangka memahami teks-teks Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafor yang banyak diperdebatkan definisi dan maksudnya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan Thomas dengan metode metafora-nya, dan upaya para tokoh Mu’tazilah dalam mendefinisikan dan memahami ayat-ayat majaz, dalam kaitannya dengan filsafat bahasa adalah sebagaimana pandangan Alfred Jules Ayer (1910-1989) tentang positivisme Logis. Melalui Language, Truth, and Logie, Ayer, mengintrodusir positivisme logis secara lebih radikal. Ayer mengemukakan bahwa karakter non-akliah pengalaman mistis, bersama-sama dengan semua ide metafisis, seharusnya dihilangkan. Karena dianggap tidak berguna sama sekali. Pisau analisis yang dipakai Ayer untuk menghilangkan semua ilusi semacam itu muncul dalam prinsip yang disebut “verifikasi”.[30] Dengan prinsip ini, Ayer kemudian berpendapat, bahwa proposisi apa pun yang diungkapkan sebagai kemungkinan “fakta” alam, seharusnya diobservasi kebenarannya. Jika hasilnya tidak benar, maka dalam pikiran Ayer, tidak ada jalan untuk memverifikasi kebenaran atau kesalahan proposisi tersebut , dan dalam situasi apa pun proposisi tersebut dianggap tidak bermakna. Ayer merumuskan prinsip verifikasi sebagai berikut:

“Kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya bermakna bagi seorang tertentu, kalau dan hanya kalau ia tahu observasi-observasi mana yang membuat dia dengan syarat-syarat tertentu, menerima suatu proposisi sebagai benar dan menolaknya sebagai salah. Sebaliknya kalau apa yang dianggap sebagai proposisi bersifat sedemikian rupa sehingga menerima kebenaran atau ketidakbenarannya dapat dicocokkan dengan pengandaian apa pun juga mengenai pengalamannya di kemudian hari, maka bagi orang yang bersangkutan, apa yang di sebut proposisi itu tidak lain (kecuali kalau merupakan suatu tautology) dari pada proposisi semu saja. Barangkali kalimat yang mengungkapkan proposisi itu mempunyai makna emosional bagi dia, akan tetapi pasti tidak ada makna harfiah”[31]

Menurut Ayer, suatu ungkapan itu bermakna bilamana suatu ungkapan itu merupakan observation statement artinya merupakan suatu pernyataan yang mengangkut realitas indrawi.[32] Sebuah ungkapan dapat dinyatakan bermakna bilamana dilakukan berdasarkan observasi atau verifikasi, atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan dengan observasi. Agar ungkapan itu bermakna maka diperlukan fakta atau data empiris.
Berbeda dengan tokoh-tokoh positivisme sebelumnya, Ayer menekankan dua macam verifikasi. Pertama, verifikasi dalam arti yang ketat (strong variable), yaitu sejauh mana kebenaran suatu proposisi itu didukung oleh pengalaman secara meyakinkan. Kedua, Verifikasi dalam arti yang lunak, yaitu jikalau suatu proposisi itu mengandung suatu kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan.

Adapun batas-batas yang berlaku untuk prinsip verifikasi, menurut Ayer adalah, pertama, suatu ungkapan bahasa tidak perlu diverifikasi secara langsung, misalnya dapat melalui kesaksian seseorang yang dapat dipercaya. Kedua, ungkapan bahasa itu bermakna tidak harus diverifikasi secara faktual, namun jika ungkapan bahasa itu secara prinsip memiliki kemungkinan untuk diversifikasi. Ketiga, tidak harus dilakukan secara lengkap melainkan sebagian saja dan hal ini verifikasi sangat banyak dilakukan dalam bidang ilmu-ilmu alam dan fisika.

Dengan menerapkan prinsip ini, verifikasi memiliki konsekuensi yang menganggap ungkapan-ungkapan metafisis adalah tidak bermakna. Reaksi inilah yang menjadikan Ayer dianggap lebih radikal dibandingkan dengan para tokoh lainnya. Menurut Ayer, semua ungkapan bahasa teologi, etika, estetika, aksiologi, ontologi, filsafat manusia pada hakekatnya adalah omong kosong atau nir arti.[33]
Demikian, gambaran mengenai kaitan antara metafora Al-Qur’an perspektif Mu’tazilah dengan Kajian dalam filsafat bahasa, khususnya mengenai pengaruh rasionalitas terhadap pemahaman ayat-ayat Majas/Metafor.

E. Kesimpulan

Sekalipun istilah majas (metafora) tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, baik secara bahasa atau istilah, namun istilah al-mitsal dalam perkembangan tafsir adalah istilah yang sebanding maknanya dengan majas. Istilah ini sering digunakan dalam perdebatan-perdebatan mengenai penakwilan nash al-Qur’an di antara kelompok-kelompok yang berselisih paham.

Adanya istilah ini di dalam al-Qur’an dalam jumlah yang banyak digunakan untuk menunjukkan suatu ungkapan tertentu dalam al-Qur’an tidak bermakna harfiah. Seiring dengan perkembangan tafsir dan takwil, terjadi pembatasan terhadap unsur-unsur dan jenis-jenis majas yang berbeda-beda, seperti kinayah, tasybih, isti’arah, hadzf, dan sebagainya.

Mu’tazilah menganggap bahwa majas sebagai penakwilan yang utama. Ketika mereka sulit menganalisis struktur bahasa al-Qur’an untuk menjelaskan majas dari sebuah ungkapan, mereka berpegang kepada indikator akal (qarinah ‘aqliyyah) yang mereka anggap lebih meyakinkan dibandingkan indikator kata (qarinah lafziyyah) yang terangkat dalam sebuah ungkapan.

Pandangan Mu’tazilah dalam memahami Kalam Ilahi ini secara umum dapat dikatakan sejalan dengan pemikiran para filosof bahasa seperti, Wittgenstein, Thomas Aquinas dengan analisis bahasa-nya yang menggunakan metode Analogi dan Merafora, yang berusaha untuk mengangkat persoalan-persoalan teologis ke tingkat pemikiran yang bersifat ilmiah filosofis. Sementara langkah-langkah yang dilakukan untuk mensosialisasikan atau mendefinisikan dan memahami teks-teks atau bahasa metafor (sebagaimana yang dilakukan Mu’tazilah) adalah sesuai dengan pandangan Alfred Jules Ayer dengan positivisme logis-nya, yang juga berusaha untuk merasionalkan sesuatu yang bersifat abstrak (baca: metafora), sehingga dapat diverifikasi dan dipaharni dengan indrawi.

Pada akhirnya, apa pun pandangan kita terhadap usaha-usaha Mu’tazilah, adalah satu hal yang tidak dapat diragukan. Mereka secara tulus mereka menghilangkan pertentangan antara akal dan syari’at, dan antara teks-teks al-Qur’an yang secara lahiriah bertentangan. Usaha mereka di dalam bidang pengetahuan, bahasa, dan majas mewariskan peninggalan-peninggalan berharga bagi bidang-bidang kajian tersebut dan bagi orang-orang yang tengah menekuni literatur Arab klasik. Semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Ubaidah, Mu’tamar ibn Mutsanna, Majaz Al-Qur’an, edisi Muhammad Fu’ad Surkain. Kairo: Maklabah Al-Khanji: 1970
Abu Zaid, Nashr Hamid. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, Bandung: Mizan, 2003
Al-’Asy’ari, Abu Hasan, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf aI-Mushallin, Edisi Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1970
Al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, edisi Muhammad ‘ali Al-Najjar, Mesir: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah li al-Ta’lif, 1996
Al-Jabbar, Abd. AI-Mughni fi Abwab Al-Tauhid wa Al-’adl; Khalq Al-Qur’an. edisi Ibrahim Al-Ibyari. t.p.,l.th. 1961
Al-Jahizh, Abu ‘Utsman Amr ibn Bahar, Al- ‘Utsmaniyyah, edisi ‘Abd Al-Salam Harun, Mesir: Dar al-Katib al-’Arabi. 1955
Al-Jahizh, Abu ‘Utsman Amr ibn Bahar, Al-Bayan wa al-Tabyin, edisi Hasan Al-Sandubi, Kairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah, 1933
Al-Jahizh, Abu ‘Utsman Amr ibn Bahar, Al-Hayawan. edisi ‘Abd Al-Salam Harun. Kairo: Al-Babi Al-Halabi, 1943
Al-Jauziali, Ibn Al-Qayyim, Al-shawa’iq Al-Mursalah ‘ala At-jahmiyyah wa Al-Mu’lhilah, Mesir: AMmam. 1380
Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, Tarikh ‘Ulum Al-Balaghah Al-’Arabivah, Kairo: Mushthafa Al-Babi al-Halabi, 1950
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan, Kairo: Al-Babi al Halabi, 1951
Ibn Sulaiman, Muhammad, Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi al-Qur’an al- Karim, edisi ‘Abd Allah Mahmud Syathahah, Kairo: AI-Hai’ah Al-Mishriyyah Al-’Ammah li Al-Kitab, 1974
Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta; Paradigma, 1998
http//.www. hkbu.edu.hk-ppp/srp/books.html
http.//www.filsafatkita.com/f-bahasa.html
Salam, Muhammad Zaghlul, Atsar Al-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Al-’Arabi, Kairo: Dar al-Ma’arif. 1975

[1] Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz Dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003), hlm.22.
[2] Muhammad Ibn Sulaiman, Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi al-Qur’an al- Karim, edisi ‘Abd Allah Mahmud Syathahah, (Kairo: AI-Hai’ah Al-Mishriyyah Al-’Ammah li Al-Kitab, 1974), hlm. 226-227
[3] Ibid., hlm. 107, 116, 127, 139, 215, dan 313.
[4] Ibid., hlm. 116-117
[5] Abu Hasan al-’Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf aI-Mushallin, Edisi Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, (Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1970), jilid. I, hlm. 198
[6] Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam Al-Qur’an menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 146.
[7] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tarikh ‘Ulum Al-Balaghah Al-’Arabiyyah, (Kairo: Mushthafa Al-Babi al-Halabi, 1950), hlm. 49.
[8] Muhammad Zaghlul Salam, Atsar al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-’Arabi, (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1975), hlm. 39-40.
[9] ‘Abd Al-Rahman Jalal Jil-Din al-Suyuthi, Al-Itqan, (Kairo: Al-Babi al Halabi, 1951), jilid 1, hlm. 119
[10] Muhammad Zaghlul Salam, Atsar Al-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Al-’Arabi, (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1975), hlm. 42-43
[11]Mu’tamar ibn Mutsanna Abu ‘Ubaidah, Majaz Al-Qur’an, edisi Muhammad Fu’ad Surkain. (Kairo: Maklabah Al-Khanji: 1970), jilid I, hlm. 47
[12] Ibid.
[13] Nashr Hamid Abu Zaid. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 153
[14] Al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, edisi Muhammad ‘ali Al-Najjar, (Mesir: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah li al-Ta’lif, 1996), jilid II, hlm. 34-35.
[15] Abu ‘Utsman Amr ibn Bahar al-Jahizh, Al- ‘Utsmaniyyah, edisi ‘Abd Al-Salam Harun, (Mesir: Dar al-Kitab al-’Arabi. 1955), hlm. 230
[16] Abu ‘Utsman Amr ibn Bahar al-Jahizh, Al-Bayan wa al-Tabyin, edisi Hasan Al-Sandubi. (Kairo: Al-Maktabah al-Tijariyyah, 1933), hlm. 53.
[17]Ibid., hlm. 222.
[18] Abu ‘Utsman Amr ibn Bahar al-Jahizh, Al-Hayawan. edisi ‘Abd Al-Salam Harun. (Kairo: Al-Babi Al-Halabi, 1943), hlm. 76.
[19] Muhammad Zaghlul Salam, Atsar At-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Al-’Arabi. (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1975). him. 83
[20] Dhaif Syauqi. Al-Balaghah Tathawwur wa Tarikh, (Kairo: Dar al-Ma’rif. 1965), hlm. 56
[21]Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi, Al-Shawa’iq Al-Mursalah ‘ala Al-Jahmiyyah wa Al-Mu’thilah, (Mesir: Al-Imam. 1380), jilid II, him. 242-243
[22] ‘Abd Al-Jabbar. AI-Mughni fi Abwab Al-Tauhid wa Al-’Adl; Khalq Al-Qur’an. edisi Tbrahim Al-Ibyari.(t.p.,l.th. 1961). jitid, VII, hlm. 17.
[23] Asrar Al-Balaghah. jilid II. hlm. 269.
[24] Al-Mughni, jilid XVII, hlm. 37
[25] Di kutip dari Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 1998). hlm. 145.
[26] Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 1998). hlm. 107.
[27] Ibid.,
[28] Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 1998). hlm. 49
[29] Albert Borgmann, “The Philosophy of Language”, dalam, Ibid., hlm. 50
[30] Stephen Palmquist’s, “The Tree of Philosophy,Terj. M. Shodiq, published on http.www.hkbu.edu.hk-ppp/srp/books.html), 27 April 2003.
[31] Dikutip dalam Kaelan, op.cit., hlm.138.
[32] Ibid., hlm. 139.
[33] Lihat “Filsafat Bahasa”, dalam http//.www.Filsafatkita.com
Sumber


Muhammad Syafii Tampubolon | Buat Lencana Anda

Posted by Unknown on 1:01 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "METAFORA AL-QUR’AN PERSPEKTIF MU’TAZILAH"

Leave a reply

Blog Archive

Labels

Recently Commented

Recently Added